Selasa, 23 April 2013

Nyawa sahabatku terselamatkan 10



Bambang membangunkan kami, cukuplah rehat terdidur 30 menit, badan sudah segar kembali siap dorong mendorong sepeda lagi seperti hari2 kemarin.
Tak berapa lama hutan-hutan dan bukit kulalui lagi, apa ini yang mungkin disebut Cemara Sewu pikirku karena disini banyak pohon cemara (namun dalam hatiku aku menyebutnya pohon pinus), karena tak tergambar di petaku yang tinta merah itu, atau mungkin tidak tercantum dalam peta mata pelajaran ilmu bumi klas 5 SR. Sambil mendorong sepeda yang sudah tidak terlalu membebani, kudendangkan lagu anak-anak.
Naik..naik kepuncak gunung...tinggi tinggi sekali
Disana sini terlihat banyak pohon cemaraaaaa...dst
Lagu membuat kami bersemangat, menambah keceriaan kami bertiga, rasa lelah sudah gak terasa lagi, dan jalan semakin cepat saja karena jalan sudah agak menurun, rasanya senja segera tiba maka kami bertiga semakin mempercepat dan memperlebar langkah.
Tepat jam 18.00 kami bertiga sampai di Tawangmangu. Hatiku semakin lega karena tidak mendengar lagi teriakan Bambang sebagai penantang Penunggu Gunung Lawu untuk diajak berduel, dalam hatiku juga tersenyum bagaimana bisa terjadi antara dia dengan sesuatu yang tidak nampak, tetapi aku tidak berani tersenyum di saat temanku menantang sambil berteriak-teriak. Kubuang perasaan ini jauh2 yang penting sudah tidak kedengaran lagi tantangan itu. Juga aku sudah tidak ingat lagi dengan puncak gunung hitam pekat yang membuat aku patah semangat itu pagi tadi. Yang ada hanya semangat ber-kobar2 pantang menyerah, semangat 45 dan semangat merebut Irian Barat yang dikobarkan oleh BK. Jarak 14 Km ditempuh dalam waktu 10 jam, betapa lamanya, itu kalau ditarik lurus tanpa zig zag berarti kami bertiga berjalan 56 km. Kemudian kami datang dirumah Bapak Kamituwo Tawangmangu agar diijinkan bermalam. Yang ada hanya Ibu Kamituwo Tawangmangu, kutunjukkan KTP dan Surat Jalanku. Ibu Kamituwo yang memberikan ijin bermalam. Beberapa saat kemudian kami minta ijin mandi di bawah air terjun Tawangmangu yang belum pernah aku lihat, hanya mendengar dari lagunya.
Kami bertiga turun kebawah menuju air terjun, tanpa penerangan karena jalan masih nampak, kala itu masih banyak batu-batu besar, di depan jatuhnya air terjun terdapat pohon besar. Air Terjun Tawangmangu sungguh indah, aku membayangkan bagaimana keindahan itu bila aku datang disiang hari, tentu lebih indah. Kami bertiga menikmati keindahan air terjun dikeheningan malam, dengan disinari oleh bintang2. Hanya kami bertiga di terjunan air yang sedemikian luasnya. Sebenarnya ingin kudendangkan lagu Kroncong Tawangmangu Indah, tetapi karena suara air terjun itu gemuruh sekali kuurungkan niatku. Di bawah pohon besar (pohon kluwak?) itu nasi ditanak, waktu itu malam Jumat. ...besuk kita sambung lagi ya

Nyawa sahabatku terselamatkan 9



tidak kedinginan. Suara serangga (gareng) ngeek-ngeek semakin nyaring saja, tidak ada hentinya saling bersaut-sautan membuat suasana hutan semakin gaduh oleh suaranya. Bukan main dinginnya. Dalam hatiku juga agak heran kenapa kabut itu tidak bergerak padahal biasanya kabut cepat meninggalkan tempatnya tersapu angin. Setiap tersapu kabut Bambang selalu menantang-nantang Penunggu Gunung Lawu sambil berdiri di bibir jurang. Kabut sering menutupi kami bertiga seperti tidak mau tersapu angin, tetapi kami pantang menyerah, disini aku mulai merasakan keanehan. Mudah2an kabut yang berwarna kuning tidak datang menyelimuti kita, yang konon mematikan karena mengandung racun, tetapi aku tidak mau mengatakannya, hanya aku berdoa akan keselamatan kami bertiga. Aku heran dengan tenagaku yang semakin menjadi luar biasa kuatnya, karena untuk naik dengan mendorong sepeda ini harus ditempuh dengan cara menggergaji (zig zak) jalan tanpa rasa lelah. Jadi kalau jarak 10 meter dengan zig zag sama dengan menempuh jarak 40 meter. Sesekali kuhibur temanku diwaktu jalan turun kakiku berjalan ditebing, tangan kiri memegang sepeda pada stang kiri, sementara tangan kanan mendorong bayangan (besi yang membedakan sepeda laki dan perempuan) sambil ngerem jadi nampaknya seperti berjalan miring 45 drajad, Bibitpun mengikuti adegan ini dengan tertawa terbahak-bahak sehingga membuat suasana semakin ceria; sewaktu jalan turunpun kami bertiga tidak berani menaiki sepeda karena terlalu curam dan tidak beraspal, batu makadam yang disusun rapi. Kalau dipaksakan naik sepeda kita bisa terjungkal atau garpu bisa patah, malah merepotkan kami. Jalan naik turun ini tidak bisa terhitung banyaknya, dan selama perjalanan ini tidak pernah kulihat kendaraan yang melewati dan berpapasan dengan kita. Jadi tidak pernah bertemu dengan satupun manusia kecuali kita bertiga. Aku berteriak:” Jalan ini memang diperuntukan bagi kita, jalan ini milik kita, tak seorang pun melintas dari tadi.” Mereka mengangguk tanda setuju, sambil tetap mendorong secara Zig Zag bila jalan naik dan sambil mengerem bila jalanan turun.
Kira2 jam 16.00 kami istirahat sejenak melepaskah lelah dalam suasana terang tanpa kabut ini kugunakan lagi untuk mengenang keindahan Telaga Sarangan dengan kusenandungkan lagi sambil bersandar dibatu besar, untuk mendengar lagu tersebut klip pada http, geser ke kanan klik kanan pilih open link, maaf tanpa masik kerena kala itu tak bawa gitar, anda akan heran : http://youtu.be/cfEEM1YcJuk belum semenit kudendangkan lagu ini Bibit sudah terdidur pulas, sedang sebelum lagu kuulangi akupun terlena karena lelah, sementara aku tidak tahu apa yang dilakukan Bambang yang tidak pernah tidur diwaktu rehat, biasanya utak utik sepedanya. Kira-kira jam 16.30sampai ketemu besuk ya

Nyawa sahabatku terselamatkan 8



keatas. Di jalan tidak pernah bertemu kendaraan yang lewat atau orang jalan kecuali sesekali orang perempuan menggendong kayu bakar. Kadang-kadang satu tapi kadang-kadang dua, namun sangat jarang. Kami bertiga sering dilanda kabut putih sehingga sangat mengganggu pandangan karena jarak 5 meter saja hampir tidak kelihatan sementara nafas juga agak sesak. Sesekali kami istirahat tetapi tidak berani lama takut badan kita kedinginan.
Ditempat yang naik turun tajam dan berjurang Bambang mulai membuat ulah ketika kabut udah menjauhi kita, dia berdiri di batu besar yang menjorok ke jurang sambil menepuk-nepuk dadanya bak Tarzan si Raja Rimba. Kedua telapak tangannya dibuat sebagai corong dimulutnya dengan teriakan yang nyaring sekali agar kedengaran gaungnya saling berpantulan. Bukan sembarang teriakan, teriakan yang membuat bulu kuduk bergidik berdiri kepada siapapun yang mendengarkan, dia berteriak-teriak dengan maksud menantang Penunggu Gunung Lawu diajak berduel. Aku dan Bibit mulai gentar dan takut mendengar ulah Bambang yang terus-menerus berteriak menantang. “Ayo Penunggu Gunung Lawu hadapi aku bertarung denganmu, ini aku Bambang. Aku atau kamu yang menang, aku tidak takut padamu. Hadapi aku sekarang juga, aku tunggu.” itu diteriakkan bukan hanya sekali, tapi berulang-ulang. Memang dia kelihatan gagah dengan pisau komando yang tergantung di sabuk kopel rim di samping kanan, sehingga merasa berani menantang Penunggu Gunung Lawu diajak bertarung. Setelah tidak ada hasil dia turun lagi mendorong sepedanya dengan zig-zag. Begitu ketemu bebatuan lagi yang menjorok kejurang tantangan itu diulangi lagi. Benar2 membuat hatiku berdua dengan Bibit semakin kecut dibuatnya, tiap kali Bambang berteriak menantang kami hanya bisa berpandangan dengan Bibit tanpa bicara sepatahpun dan menunggu sampai dia selesai dengan tantangannya.
Kami berdua tidak bisa melarang, kita sudah tahu wataknya yang pantang menyerah dan pemberani, semakin dilarang semakin menjadi-jadi, dia memang sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, akhirnya aku berdua membiarkannya sesukanya, namun dengan hati kecut dan was. Aku teringat ceritanya ketika ingin melihat wajah ibunya yang sudah almarhum sejak dia masih bayi, konon dia tidur dipusara ibunya tanpa makan dan minum untuk melihat wajah ibunya walau akhirnya tidak berhasil. Makam ibunya di Sri Gading Kalangbret Tulungagung yang wingit di belakang gunung Bolo itu, aku pernah diajak kesana kala itu bersama teman2.
Di tempat batu besar yang terletak di pinggir kiri jalan kami istirahat sambil makan siang, Bibit kemudian meminjam pisau komando Bambang untuk memahat nama kami bertiga. Belum sempat selesai makan kabut tebal mulai menyelimuti kita bertiga lagi. Cepat-cepat kita berangkat lagi agar....maaf besuk pagi aku lanjutkan ya

Nyawa sahabatku terselamatkan 7

pendopo kelurahan, sebelum tidur kaki kuolesi dengan parem kucampuri air biar agak hangat, untuk menghilangkan pegal-pegal
Kamis 14 November 1963 hari ke 3. Bangun tidur jam 5 pagi seperti biasanya Bambang menanak nasi, sementara aku bergantian mandi. Selesai mandi aku kehalaman depan Kelurahan Sarangan yang pada saat itu cuaca cerah sekali. Aku melihat puncak Lawu yang begitu kelabu, tinggi seperti tidak mau kudaki. Patah semangatku melihat gunung setinggi itu yang harus kudaki dengan mendorong sepeda seperti hari kemarin. Aku ingat orang tuaku yang tidak kupamiti, aku merasa bersalah. Aku tulis surat minta maaf karena aku tidak pamit. Semangatku pudar ketika kulihat puncak gunung begitu tinggi hitam pekat, membuat nyaliku semakin kecil. Aku ingat hari kemarin mulai dari Magetan sampai Telaga Sarangan berjalan sambil mendorong sepeda yang sangat melelahkan, menguras tenaga. Aku beritahu Bambang dan Bibit kalau aku tidak kuat meneruskan perjalanan.
Bambang kemudian berkata:”Kar aku tidak tidak bisa menerima apapun alasanmu, karena kita pergi bersama pulang harus bersama.” Setelah itu Bambang menoleh kearah Bibit, kemudian berkata: “Bibit kita terus atau tidak?” Bibit dengan tegas dan bersemangat menjawab: “Jalan terus Mas Bambang, tidak ada kata berhenti, sikap lamban berarti mati.”
Kemudian Bambang menoleh padaku dan berkata:” Kar kamu boleh pulang tetapi uang sangu berikan kepada kita berdua.” Pikirku aku kalah karena dua lawan satu, itulah persahatan aku harus mengalah pada keputusan yang terbanyak, tetapi aku belum mengiyakan. Ketika aku berjalan menuju Ngerong untuk mengeposkan surat setelah berjalan kira-kira 200 meter timbul pertanyaanku apa nanti aku kuat berjalan seperti kemarin kembali ke Telaga Sarangan menemui mereka? Aku urungkan niatku  mengeposkan surat, timbul tekadku yang pantang menyerah lagi. Aku berkata pada diriku sendiri: “Aku harus bisa mendaki Gunung Lawu itu, tetapi aku tidak akan mendongak keatas melihat puncak itu lagi, untuk bisa menipu diriku sendiri.”
Aku kembali ke tempat mereka berdua berkemas melanjutkan perjalanan dan aku berkata: “ Aku tidak jadi pulang kita lanjutkan perjalanan.” Mereka menyambut keputusanku dengan gembira, berarti kita bertiga lagi.
Tepat jam 8.00 setelah sarapan kita bertiga mulai meneruskan berjalan kaki sambil mendorong sepeda kearah Tawangmangu. Sambil mendorong sepeda aku tidak pernah mendongak keatas takut patah semangat lagi. Aku hanya melihat kebawah kemana jalan menuju arah samping kiri dan kanan. Sambil sesekali menoleh kebelakang melihat tingginya arah yang sudah kudaki. Tetap tidak mau mendongak...besuk diteruskan ya

Nyawa sahabatku terselamatkan 6



kita jadi lemas tidak memiliki tenaga sama sekali.”. Benar apa yang dikatakan Bambang tersebut, karena kita bertiga sudah mulai tertidur. Kudengar Bibit sudah mendengkur karena tidak kuat menahan kantuknya.
Bibit segera memegang sepedanya siap mendorong, aku mengikuti dari belakang agak lesu, karena tadi mataku hampir terpejam. Sekarang jalanan menanjak tinggi sekali, mendaki Gunung Lawu. Bambang dan Bibit mendorong sepeda ke arah Sarangan dengan cara menggergaji jalan mungkin disebut Zig Zag, aku naik sedikit demi sedikit,  ini yang membuat aku kehabisan tenaga. Jarak Ngerong ke Sarangan yang hanya 5 Km kutempuh dalam waktu hampir 2 jam, cukup menguras tenaga. Jam 6.00 sore kami bertiga tiba di Sarangan kemudian bermalam di rumah Pak Lurah Sarangan. Habis sudah tenagaku, sampai-sampai aku duduk terjatuh tidak kuat menahan lelah dan kantuk, kesalahanku tidak mendaki secara menggergaji, berjalan sambil mendorong sepeda seperti yang dilakukan mereka berdua yang aku kira mengbuang-buang waktu dan tenaga, ternyata perkiraanku salah.
Seperti biasanya kegiatan selanjutnya mandi dan menanak nasi untuk makan malam dilakukan oleh Bambang. Aku dan Bibit bergantian mandi untuk mendinginkan tubuh yang panas sekali seperti terbakar. Air sedingin itu membuat tubuhku segar lagi, juga yang dialami Bibit. Dia tampak ceria, rasa lelah sudah tidak ada lagi. Setelah selesai mandi kemudian kami bertiga makan malam dengan lahapnya, nasi hangat, minum teh hangat manis di kedingingan Sarangan sungguh nikmat. Selesai makan malam kami bertiga jalan-jalan mengitari telaga, menikmati pemandangan, sambil kudendangkan lagu langgam Telaga Sarangan kesukaanku, maklum lagu2 populair masih belum banyak.
                                Teduh sunyi damai tenang Telaga Sarangan
                                Indah bukan buatan........dst
Telaga Sarangan sungguh indah walau yang melihat cuma kami bertiga dikeheningan malam dengan penerangan sinar2 bintang. Maklum kami menikmati keindahan telaga diwaktu malam, jadi ya hanya kami bertiga saja. Kami duduk dipinggiran telaga, sesekali membayangkan betapa dalamnya telaga ini, dengan melempar batu kearah telaga. Setelah dianggap cukup, hampir 90 menit kami mengitari telaga sambil bercanda yang menyegarkan jam 21.00 kami kembali ke tempat Pak Lurah Sarangan untuk melepaskan lelah. Betapa cepatnya kami bertiga tertidur walau diatas tikar yang dihamparkan di lantai