Nyawa sahabatku terselamatkan 2
kompor, kaleng minyak tanah,
panci untuk menanak nasi dan peralatan perbaikan bilamana ada kerusakan sepeda.
Bibit sepedamu yang slebor dibagian belakang berwarna putih bertuliskan
REMEMBER, tetapi karena terdapat sekrup yang yang menghalangi tulisannya
sehingga terbaca REM EMBER, harus dipasangi boncengan, dibebani sambel pecel,
lauk pauk dan beras untuk keperluan 7 hari. Aku akan mengurus surat jalan untuk
keperluan bermalam di setiap kantor desa yang kita tumpangi bermalam. Setuju?”.
Maklum dulu truk besar biasanya ditulisi awas REM ANGIN, jadi tulisan REM EMBER
terasa sangat janggal, padahal seharusnya dibaca Remember. Dia selalu ingat
akan pacarnya.
Bibit segera menjawab dengan
mengepalkan tangannya: ‘Setuju, kita bertiga berangkat! Ayo kita periksa sepeda
masing-masing apakah bisa dinaiki sampai tujuan dan pulang dengan selamat.”
Masing-masing memeriksa fungsi
keamanan sepeda, rem, dinamo sebagai lampu penerangan dimalam hari. Maklum pada
saat itu mengendarai sepeda dimalam hari walau terang bulan tetap harus
menggunakan lampu kalau tidak bisa ditangkap polisi karena dianggap pelanggaran
lalu lintas di jalan raya. Kala itu jumlah kendaraan masih jarang, selain
kendaraan bermotor, sepeda termasuk kendaraan yang harus mematuhi tata tertib
lalu lintas, dan dikenakan pajak kendaraan berupa peneng tanda pajak lunas.
Jangan coba-coba ditangkap polisi kemudian menawarkan damai bisa celaka kita.
Setelah selesai memeriksa sepeda masing-masing dan dinyatakan layak jalan
kemudian aku dan Bibit pulang ke Tulungagung dengan rencana masing-masing. Kala
itu kendaraan tidak seramai sekarang, jalan masih agak lengang sehingga
perjalanan jauh dengan sepeda memungkinkan.
Hari Senin sehari sebelum
keberangkatan, jam 9.00 aku datang ke Kelurahan Karangwaru Tulungagung mengurus
KTP yang masih lipat 3 itu dan Surat Keterangan bepergian ke Borobudur walau
pada saat itu keadaan aman. Pak Carik Desa Karangwaru Tulungagung membuatkan
KTP dan surat jalan, kemudian ditanda tangani pak Lurah Sarjuri, selesai dalam
hitungan menit bukan jam atau hari seperti sekarang. Gratis lagi, karena Pak
Lurah kala itu sudah dapat Sawah Bengkok barangkali.
Setelah selesai
urusan surat jalan dan KTP aku pulang mempersiapkan apa-apa yang kubawa secara
diam-diam, tidak berani mengutarakan kepada orang tuaku karena pasti tidak
diijinkan juga tidak berani minta uang saku, ayah pasti curiga, ini juga
dialami Bibit yang juga tidak pamit orang tuanya. Senin malam aku cuma
berpamitan bapak kalau aku ke tempat Bambang dan bermalam disana. Ketika aku
datang jam 20.00 ternyata Bibit sudah ada disana dengan suka cita menyambut
kedatanganku bak orang yang datang dari medan laga. Maklum Bibit memiliki
tinggi badan kurang dari 160 cm tetapi......besuk kulanjutkan
Jadi peristiwa 50 tahun lalu sungguh asyik untuk dikenang. Apakah anda juga demikian
BalasHapus