Selasa, 23 April 2013

Nyawa sahabatku terselamatkan 3



dadanya bidang dan badannya gempal, sementara semangat nasionalisme dan semangat berhasil merebut Irian Barat masih menggelora, ditambah lagi Bibit orangnya agak pendiam tetapi penuh humor yang menyegarkan. Dia memegangi sepedaku sambil berkata: “Mari silahkan tuanku kita sudah siap semuanya.”
Postur tubuh Bibit mengingatkanku kembali kenangan tersendiri, ketika kami bertiga mendaftarkan diri sebagai Sukarelawan Dwikora di Pendopo Kabupaten Tulungagung. Karena saking banyaknya pendaftar yang harus diukur tinggi badannya maka panitia mengikatkan benang membentang diantara 2 tiang dengan  tinggi 160 cm. Barang siapa yang tingginya kurang dari 160 cm diharap tidak mendaftar. Karena tinggi Bibit kurang dari 160 cm maka dia lolos saja ketika melewati bentangan benang tersebut. Bibit merasa kecewa berat, dia bilang sambil ber-sungut2 dan bersumpah serapah nyrocos dari muludnya kemudian berkata, mau membela tanah air saja kok diukur tingginya, apa hubungannya dengan tinggi badan. Sebagai rasa setia kawan kami urungkan niat untuk mendaftar sukarelawan Dwikora di Kabupaten Tulungagung , esok harinya aku dan Bambang mendaftar Sukarelawan Dwikora di kecamatan Kalangbret. Kami diterima diantara 35 sukarelawan 2 diantara pelajar hanya kami berdua, setelah menyisihkan ratusan peserta dengan  berbagai macam test.
Malam itu kita cek bekal dan peralatan yang harus dibawa, kaca mata hitam dan topi untuk mengurangi terik matahari, kunci-kunci, alat tambal ban dan lem, kompor, kaleng minyak gas, kaleng untuk air minum yang biasa dipakai tentara itu. Bibit meminjami aku topi terbuat dari laken coklat muda model Robin Hood bertuliskan Apathe (maksudnya Apache karena kekayaan bahasa masih kurang atau salah tulis). Ternyata Bibit sudah siap dengan sambal pecel, lauk pauk dan beras untuk keperluan seminggu yang diikat di boncengan yang kemarin belum dipasang. Aku hanya membawa pakaian yang tadi siang kusembunyikan dalam bungkusan takut ketahuan orang tua. Semua sesuai dengan rencana, setelah selesai memeriksa persiapan jam 22.00 kami siap tidur sambil membayangkan perjalanan besok pagi, tak berapa lama kemudian kami bertiga tidur pulas dengan impian masing-masing.
Selasa 12 November 1963 hari pertama.
Ketika kami terbangun jam menunjukan angka 3.00 kami membersihkan badan, menanak nasi. Tepat jam 4.00 kami bertiga berangkat dari Desa Kalangbret, Tulungagung rumah Bambang, ketika cuaca masih dingin sekali dan keadaan masih gelap gulita karena pada saat itu penerangan jalan tidak seterang sekarang, tiap 2 tiang listrik yang berjarak 100 meter hanya diterangi lampu 25 watt. Jam 6.00 Kota Tulungagung sudah kulewati, setelah melewati Jembatan Ngujang diatas Sungai Brantas yang banyak kera disekitarnya dan masih berbentuk Jembatan Balley itu juga kalau mau lewat bergantian distop secara manual.
Ketika sampai di Kediri udara sudah mulai panas kami bertiga berhenti di jalan sepi untuk sarapan pagi dengan nasi yang sudah dipersiapkan tadi pagi dengan lahapnya, 1 kg beras harus cukup untuk makan....kuteruskan besuk pagi ya

1 komentar:

  1. Peristiwa 50 tahun lalu sungguh membekas di hatiku, juga sahabatkan Bambang Wibisono yang sekarang tinggal di Blitar

    BalasHapus