dadanya bidang dan badannya
gempal, sementara semangat nasionalisme dan semangat berhasil merebut Irian
Barat masih menggelora, ditambah lagi Bibit orangnya agak pendiam tetapi penuh
humor yang menyegarkan. Dia memegangi sepedaku sambil berkata: “Mari silahkan tuanku kita sudah
siap semuanya.”
Postur tubuh Bibit mengingatkanku kembali kenangan tersendiri, ketika kami
bertiga mendaftarkan diri sebagai Sukarelawan Dwikora di Pendopo Kabupaten
Tulungagung. Karena saking banyaknya pendaftar yang harus diukur tinggi badannya maka
panitia mengikatkan benang membentang diantara 2 tiang dengan tinggi 160
cm. Barang siapa yang tingginya kurang dari 160 cm diharap tidak mendaftar.
Karena tinggi Bibit kurang dari 160 cm maka dia lolos saja ketika melewati
bentangan benang tersebut. Bibit merasa kecewa berat, dia bilang sambil
ber-sungut2 dan bersumpah serapah nyrocos dari muludnya kemudian berkata, mau
membela tanah air saja kok diukur tingginya, apa hubungannya dengan tinggi
badan. Sebagai rasa setia kawan kami urungkan niat untuk mendaftar sukarelawan
Dwikora di Kabupaten Tulungagung , esok harinya aku dan Bambang mendaftar
Sukarelawan Dwikora di kecamatan Kalangbret. Kami diterima diantara 35
sukarelawan 2 diantara pelajar hanya kami berdua, setelah menyisihkan ratusan
peserta dengan berbagai macam test.
Malam itu kita cek bekal dan
peralatan yang harus dibawa, kaca mata hitam dan topi untuk mengurangi terik
matahari, kunci-kunci, alat tambal ban dan lem, kompor, kaleng minyak gas,
kaleng untuk air minum yang biasa dipakai tentara itu. Bibit meminjami aku topi
terbuat dari laken coklat muda model Robin Hood bertuliskan Apathe (maksudnya
Apache karena kekayaan bahasa masih kurang atau salah tulis). Ternyata Bibit sudah
siap dengan sambal pecel, lauk pauk dan beras untuk keperluan seminggu yang
diikat di boncengan yang kemarin belum dipasang. Aku hanya membawa pakaian yang
tadi siang kusembunyikan dalam bungkusan takut ketahuan orang tua. Semua sesuai
dengan rencana, setelah selesai memeriksa persiapan jam 22.00 kami siap tidur
sambil membayangkan perjalanan besok pagi, tak berapa lama kemudian kami
bertiga tidur pulas dengan impian masing-masing.
Selasa 12 November 1963 hari
pertama.
Ketika kami terbangun jam menunjukan angka 3.00 kami membersihkan badan,
menanak nasi. Tepat jam 4.00 kami bertiga berangkat dari Desa Kalangbret,
Tulungagung rumah Bambang, ketika cuaca masih dingin sekali dan keadaan masih
gelap gulita karena pada saat itu penerangan jalan tidak seterang sekarang,
tiap 2 tiang listrik yang berjarak 100 meter hanya diterangi lampu 25 watt. Jam
6.00 Kota Tulungagung sudah kulewati, setelah melewati Jembatan Ngujang diatas
Sungai Brantas yang banyak kera disekitarnya dan masih berbentuk Jembatan
Balley itu juga kalau mau lewat bergantian distop secara manual.
Ketika sampai di Kediri udara sudah mulai panas kami
bertiga berhenti di jalan sepi untuk sarapan pagi dengan nasi yang sudah
dipersiapkan tadi pagi dengan lahapnya, 1 kg beras harus cukup untuk
makan....kuteruskan besuk pagi ya
Peristiwa 50 tahun lalu sungguh membekas di hatiku, juga sahabatkan Bambang Wibisono yang sekarang tinggal di Blitar
BalasHapus