Selasa, 23 April 2013

Nyawa sahabatku terselamatkan 8



keatas. Di jalan tidak pernah bertemu kendaraan yang lewat atau orang jalan kecuali sesekali orang perempuan menggendong kayu bakar. Kadang-kadang satu tapi kadang-kadang dua, namun sangat jarang. Kami bertiga sering dilanda kabut putih sehingga sangat mengganggu pandangan karena jarak 5 meter saja hampir tidak kelihatan sementara nafas juga agak sesak. Sesekali kami istirahat tetapi tidak berani lama takut badan kita kedinginan.
Ditempat yang naik turun tajam dan berjurang Bambang mulai membuat ulah ketika kabut udah menjauhi kita, dia berdiri di batu besar yang menjorok ke jurang sambil menepuk-nepuk dadanya bak Tarzan si Raja Rimba. Kedua telapak tangannya dibuat sebagai corong dimulutnya dengan teriakan yang nyaring sekali agar kedengaran gaungnya saling berpantulan. Bukan sembarang teriakan, teriakan yang membuat bulu kuduk bergidik berdiri kepada siapapun yang mendengarkan, dia berteriak-teriak dengan maksud menantang Penunggu Gunung Lawu diajak berduel. Aku dan Bibit mulai gentar dan takut mendengar ulah Bambang yang terus-menerus berteriak menantang. “Ayo Penunggu Gunung Lawu hadapi aku bertarung denganmu, ini aku Bambang. Aku atau kamu yang menang, aku tidak takut padamu. Hadapi aku sekarang juga, aku tunggu.” itu diteriakkan bukan hanya sekali, tapi berulang-ulang. Memang dia kelihatan gagah dengan pisau komando yang tergantung di sabuk kopel rim di samping kanan, sehingga merasa berani menantang Penunggu Gunung Lawu diajak bertarung. Setelah tidak ada hasil dia turun lagi mendorong sepedanya dengan zig-zag. Begitu ketemu bebatuan lagi yang menjorok kejurang tantangan itu diulangi lagi. Benar2 membuat hatiku berdua dengan Bibit semakin kecut dibuatnya, tiap kali Bambang berteriak menantang kami hanya bisa berpandangan dengan Bibit tanpa bicara sepatahpun dan menunggu sampai dia selesai dengan tantangannya.
Kami berdua tidak bisa melarang, kita sudah tahu wataknya yang pantang menyerah dan pemberani, semakin dilarang semakin menjadi-jadi, dia memang sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, akhirnya aku berdua membiarkannya sesukanya, namun dengan hati kecut dan was. Aku teringat ceritanya ketika ingin melihat wajah ibunya yang sudah almarhum sejak dia masih bayi, konon dia tidur dipusara ibunya tanpa makan dan minum untuk melihat wajah ibunya walau akhirnya tidak berhasil. Makam ibunya di Sri Gading Kalangbret Tulungagung yang wingit di belakang gunung Bolo itu, aku pernah diajak kesana kala itu bersama teman2.
Di tempat batu besar yang terletak di pinggir kiri jalan kami istirahat sambil makan siang, Bibit kemudian meminjam pisau komando Bambang untuk memahat nama kami bertiga. Belum sempat selesai makan kabut tebal mulai menyelimuti kita bertiga lagi. Cepat-cepat kita berangkat lagi agar....maaf besuk pagi aku lanjutkan ya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar