keatas. Di jalan tidak pernah
bertemu kendaraan yang lewat atau orang jalan kecuali sesekali orang perempuan
menggendong kayu bakar. Kadang-kadang satu tapi kadang-kadang dua, namun sangat
jarang. Kami bertiga sering dilanda kabut putih sehingga sangat mengganggu
pandangan karena jarak 5 meter saja hampir tidak kelihatan sementara nafas juga
agak sesak. Sesekali kami istirahat tetapi tidak berani lama takut badan kita
kedinginan.
Ditempat yang naik turun tajam
dan berjurang Bambang mulai membuat ulah ketika kabut udah menjauhi kita, dia
berdiri di batu besar yang menjorok ke jurang sambil menepuk-nepuk dadanya bak
Tarzan si Raja Rimba. Kedua telapak tangannya dibuat sebagai corong dimulutnya
dengan teriakan yang nyaring sekali agar kedengaran gaungnya saling
berpantulan. Bukan sembarang teriakan, teriakan yang membuat bulu kuduk
bergidik berdiri kepada siapapun yang mendengarkan, dia berteriak-teriak dengan maksud
menantang Penunggu Gunung Lawu diajak berduel. Aku dan Bibit mulai gentar dan
takut mendengar ulah Bambang yang terus-menerus berteriak menantang. “Ayo
Penunggu Gunung Lawu hadapi aku bertarung denganmu, ini aku Bambang. Aku atau
kamu yang menang, aku tidak takut padamu. Hadapi aku sekarang juga, aku
tunggu.” itu diteriakkan bukan hanya sekali, tapi berulang-ulang. Memang dia
kelihatan gagah dengan pisau komando yang tergantung di sabuk kopel rim di
samping kanan, sehingga merasa berani menantang Penunggu Gunung Lawu diajak
bertarung. Setelah tidak ada hasil dia turun lagi mendorong sepedanya dengan
zig-zag. Begitu ketemu bebatuan lagi yang menjorok kejurang tantangan itu
diulangi lagi. Benar2 membuat hatiku berdua dengan Bibit semakin kecut
dibuatnya, tiap kali Bambang berteriak menantang kami hanya bisa berpandangan
dengan Bibit tanpa bicara sepatahpun dan menunggu sampai dia selesai dengan
tantangannya.
Kami berdua tidak bisa melarang,
kita sudah tahu wataknya yang pantang menyerah dan pemberani, semakin dilarang
semakin menjadi-jadi, dia memang sudah tidak mempunyai rasa takut lagi,
akhirnya aku berdua membiarkannya sesukanya, namun dengan hati kecut dan was.
Aku teringat ceritanya ketika ingin melihat wajah ibunya yang sudah almarhum
sejak dia masih bayi, konon dia tidur dipusara ibunya tanpa makan dan minum
untuk melihat wajah ibunya walau akhirnya tidak berhasil. Makam ibunya di Sri
Gading Kalangbret Tulungagung yang wingit di belakang gunung Bolo itu, aku
pernah diajak kesana kala itu bersama teman2.
Di tempat batu
besar yang terletak di pinggir kiri jalan kami istirahat sambil makan siang,
Bibit kemudian meminjam pisau komando Bambang untuk memahat nama kami bertiga. Belum sempat
selesai makan kabut tebal mulai menyelimuti kita bertiga lagi. Cepat-cepat kita
berangkat lagi agar....maaf besuk pagi aku lanjutkan ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar