pagi dan untuk makan siang hari. Setelah istirahat dan sarapan selesai kami
bertiga meneruskan perjalanan kembali dengan penuh canda dan tawa.
Sampai kota Nganjuk kira-kira jam 10.00 panas mulai menjengat. Panas tidak
kami rasakan, sesekali kami bertiga bergantian siapa yang di depan siapa yang
di tengah dan siapa yang di belakang tanpa komando. Sesekali kami bertiga berjajar
bila keadaan jalan lengang dengan riang gembira. Sesekali naik sepeda dengan lepas
tangan, penuh gurauan dan canda.
Bisa dibayangkan dari Tulungagung
sampai Nganjuk kami bertiga harus bersepeda ditengah media jalan yang beraspal,
karena pada saat itu jalan yang beraspal hanya separo disebelah kanan,
sementara yang disebelah kiri belum beraspal yang diperuntukkan bagi gerobak,
cikar. Jadi kalau berpapasan atau didahului dengan kendaraan besar seperti bus
kami harus pindah ke jalur kiri yang tidak beraspal dan bergelombang, maklum
negara baru 18 tahun merdeka belum banyak perbaikan prasarana.
Setelah
melewati Kota Nganjuk kearah barat barulah terlihat tanjakan pertama kali yang
harus dilalui. Kita bertiga balapan tanpa komando untuk melewati tanjakan itu
dengan sekuat tenaga karena kami bertiga mengira kalau tanjakan itu hanya satu
saja. Maklum kita bertiga belum pernah tahu jalanan naik turun. Hanya melihat
dari peta saja yang kugambar sendiri, yang memuat kota mana saja yang dilalui.
Setelah melewati tanjakan pertama kami saling berpandangan ternyata banyak
tanjakan dan turunan. Aku berkata kepada mereka, sambil terengah-engah: “Kita
tertipu, aku kira tanjakan ini hanya satu seterusnya lurus.” Mereka berdua
mengangguk tanda setuju, tidak berani berkata banyak karena napasnya masih
ngos-ngosan. Tak ada lagi canda dan tawa. Masing-masing pada memilih diam
seribu bahasa, tidak ada kata siapa yang didepan atau tengah dan belakang yang
penting kuat. Bukan main banyaknya jalan menanjak namun semua tidak dihiraukan
yang penting harus sampai di Madiun sebelum malam tiba, karena jalan penuh dengan
hutan jati. Tanpa terasa tepat jam 5.00 sore jarak 112 km ditempuh dalam 13 jam
kami sampai di kota Madiun. Walau sampai di kota Madiun kami bertiga masih naik
sepeda kearah barat mengikuti kemana arah petunjuk jalan ke Sarangan tertuju.
Perjalanan ini membuat kami bertiga akhirnya hafal akan tanda-tanda lalu-lintas
yang dipasang dijalan raya. Akhirnya jam 6.00 sore kami beristirahat di tempat
Kepala Desa Jiwan sesuai dengan rencana semula, dimana tempat kepala desa akan
berhenti bila senja tiba. Pak Lurah sempat heran ketika kami jelaskan bahwa
kami mau mengadakan perjalanan ke Borobudur melewati Sarangan dan Tawangmangu.
Beliau hanya membaca surat keterangan jalan kemudian dikembalikan kepada kami
lagi. Kami bertiga diberi tempat di pendopo kelurahan, kemudian kami
dipersilahkan mandi dan menanak nasi untuk makan
Hati ini serasa tenang setelah semua kisah itu tertulis seluruhnya di Facebook dan di Yahoogroups, berarti dulu ada remaja nekad bersepeda meliwati Sarangan Tawangmangu serta menantang Penunggu Gunung Lawu.
BalasHapus