Nyawa sahabatku terselamatkan 1
Latar belakang penulisan cerita. Cerita ini sesungguhnya tidak ingin
kutulis kembali setelah hampir 40 tahun (saat itu tahun 2004) terpendam dalam
benakku, kalau saja sahabatku sejak SMP Taman Dewasa tahun 1959 sampai dengan
kelas tiga SMA Gayatri Tulungagung 1965, Drs Joko Widodo yang sekarang bekerja
di Direktorat Jenderal Pajak Surabaya dan Wahyuningsih yang sekarang tinggal di
Madiun memintaku untuk bercerita kembali tentang kisah perjalananku. Permintaan
menulis tersebut mereka utarakan melalui SMS setelah mereka minta aku
menceritakan kembali pengalaman perjalananku bersepeda dari Tulungagung ke
Borobudur 40 tahun silam. Aku berjanji menulis tetapi aku harus ketemu dengan
sahabatku Bambang Wibisono setelah hampir 36 tahun tidak bertemu. Tanggal 16
November 2004 lalu ketika teman-teman mengadakan Reuni angkatan ‘65 s/d ‘69 SMA
Gayatri Tulungagung ditempat adik kelasku Dra. Winarni di desa Sembung,
Tulungagung, aku bisa bertemu lagi dengan Bambang Wibisono setelah sebelumnya
sering kirim SMS. Bambang kutanyai tentang manusia misterius yang menolongnya.
Aku bermalam di Hotel Wijaya sehingga lama sekali ngobrol kisah itu sampai
larut malam, sebelum datang ke reuni tersebut.
Tulisan ini berarti menggali
kembali daya ingatku berdasarkan tulisan di buku harian yang sudah hilang
ketika kutinggalkan kuliah di Malang tahun 1965, buku itu memuat masa remajaku
sejak aku di SMA.
Sebut saja namaku Karmani,
sekarang Karmani Soekarto profesiku sebagai pensiunan Karyawan Minyak dan
Gas Bumi Swasta, Bambang Wibisono sekarang sebagai pensiunan Marinir dan Bibit
Haryono, beliau wafat kisaran 2001. Tahun 1965 kami bertiga kuliah di
Universitas Brawijaya Malang, aku di Fakultas Ketataniagaan Ketatanegaraan
sekarang Fakultas Ilmu Administrasi, Bambang Wibisono dan Bibit Haryono
kedua-duanya di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat sekarang Fakultas
Hukum, namun tidak menyelesaikan kuliahnya, karena pada saat itu gelombang
demontrasi mahasiswa terjadi tiada hentinya di Malang, Surabaya juga di
Jakarta, belum lagi bentrok antar mahasiswa karena perbedaan latar belakang
ideologi, seperti keadaan setelah tumbangnya Orde Baru, hanya bedanya dulu yang
tumbang Orde Lama. Akhirnya Bambang memilih masuk KKO sekarang Marinir, Bibit
memilih berwiraswasta, sementara aku tetap kuliah sampai selesai walau
terputus-putus masanya, aku menyelesaikan S1 thn 1978 setelah aku keluar
bekerja dari perusahaan Minyak dan Gas Bumi Swasta asing di Kaltim sedang S2
kuselesaikan tahun 2001 sebelum aku pensiun dari perusahaan tersebut, tentunya
setelah aku selesai S1 kemudian bisa kembali ke perusahaan tersebut. Sekarang aku sebagai Tax Consultant di perusahaan
Drilling dan Work Over Services company.
Tulisan ini akan kami sajikan tiap pagi agar Bapak2 dan Ibu2 tidak bosan
menbacanya, dan bisa dicritakan kepada cucu sebagai pengantar tidur..
Awal Kisah. Kala itu
tahun 1963 ketika aku duduk di kelas dua SMA Gayatri, Tulungagung mendapat
liburan Ganefo ( Games of the New Emerging Forces) selama dua minggu (10
November 1963 – 24 November 1963). Aku selalu bertiga di dalam kelas maupun di
luar kelas sebagai teman akrab yang ketika itu kami bertiga masih berumur
kisaran 17 tahun; walau akrab aku tidak duduk sebangku. Hari minggu 10 November
1963 aku mengajak Bibit untuk menjenguk Bambang di desa Kalangbret Tulungagung,
kulihat dia sedang membetulkan sepeda perempuan yang setiap hari dipakai ke
sekolah yang jaraknya kira-kira hampir 10 km. Ternyata dia bisa menyetel rantai
dan jeruji seperti pekerjaan yang dilakukan pekerja bengkel sepeda didekat
rumahku. Sehingga aku punya gagasan spontan untuk mengisi liburan Ganefo 1963.
Aku nyeletuk secara tiba-tiba:“ Bagaimana kalau kita bertiga mengadakan
perjalanan bersepeda ke Borobudur melewati jalur selatan Sarangan, Tawangmangu,
pulangnya melewati jalur utara Solo, Ngawi, Madiun?”
Kami bertiga merupakan sahabat yang selalu bersaing dalam persahabatan yang
tidak mempunyai tujuan untuk merusak, namun disatu sisi kami selalu mendukung
satu sama lain.
Kami bertiga saling berpandangan
penuh ragu, ingin tahu isi hati lawan bicara. Mampukah sejauh itu bersepeda?
Kami semua diam seribu bahasa, tak bersuara, sunyi. Bambang meletakkan obeng
dan kunci yang dia pakai untuk membetulkan sepedanya sambil memandang aku dan
Bibit bergantian. Selang beberama lama kami bertiga berteriak tanda setuju
dengan mengepalkan tangan, dengan gembira sekali tanpa menghitung resiko,
maklum kami bertiga masih baru berumur kisaran 17 tahun. Mungkin remaja
sekarang heran umur 17 baru duduk di kelas dua SMA, maklum dulu masuk sekolah
dasar harus berumur 7 tahun setelah bisa memegang telinganya sendiri dengan
melingkarkan tangan di kepala.
Tiba-tiba Bambang berteriak:
“Selasa lusa kita bertiga berangkat, kita akan bermalam di sembarang kantor
kepala desa saat senja tiba, yang penting kita bertiga bisa tidur”
Bibit yang sedari tadi diam baru
angkat bicara: ‘Kita bermalam di kantor kepala desa yang kita singgahi, tetapi
jangan membuat repot pak lurah nggak enak rasanya, itu yang harus kita
pikirkan.” Bibit berpikiran lebih bijak, jangan sampai orang yang kita
singgahi direpotkan karena menerima kedatangan kita.
Aku mengangguk
tanda setuju, seraya membagi tugas: “ Sepedaku yang ada boncengannya akan
dibebani Ransel berisi pakaian kita bertiga, mBang sepedamu yang juga memiliki
boncengan dibebani...bersambung esuk hari
Peristiwa dalam hidupku yang tak mudah kulupakan
BalasHapus